Data AI mengungkap, masyarakat Indonesia menghabiskan 38 jam 20 menit di Tiktok tiap bulan. Ini juga membuat Tiktok jadi aplikasi paling menyita waktu warga tanah air.
Baca Juga: Konektivitas Cerdas Laptop dan Smartphone, Kini Hadir di Samsung Galaxy Book4 Series
Aplikasi berikutnya yang banyak digunakan oleh warganet Indonesia adalah Youtube, lamanya 31 jam 28 menit per bulan. Sementara layanan pesan instan WhatsApp, berada di urutan ketiga 26 jam 13 menit setiap bulan.
"Namun Tiktok bukan menjadi aplikasi yang populer di Indonesia. WhatsApp berada di urutan puncak untuk kategori tersebut," demikian catatan Data AI yang dikutip lewat CNBC, Senin (26/2/2024).
Sebanyak 34,8% usia 16-64 tahun merupakan pengguna WhatsApp. Instagram selanjutnya berada di urutan kedua dengan 19,6% pengguna Indonesia.
"Tiktok masih masuk ketiga besar kategori 'aplikasi terpopuler' di tanah air. Jumlahnya tercatat mencapai 17,7 persen," ungkap mereka.
WhatsApp juga kembali mengalahkan Tiktok dalam laporan 'aplikasi yang paling sering digunakan.' Kategori ini diukur berapa kali seseorang membuka sebuah aplikasi.
Dalam satu bulan, masyarakat Indonesia membuka WhatsApp sebanyak 1.347 kali. Jumlahnya meninggalkan Tiktok, yang dibuka 737,7 kali.
Baca Juga: Smart Connect, Hubungkan Perangkat Lenovo dan Motorola ke Satu Ekosistem
Meski TikTok terlihat superior di Indonesia, nasibnya berbeda dengan di Amerika Serikat (AS).
Sensor Tower melaporkan penurunan jumlah pengguna aktif bulanan (MAU) di AS. Ini terjadi sejak uji coba fitur berlanja Tiktok Shop dilakukan di negara tersebut.
Saat itu, MAU Tiktok tumbuh 12% untuk rata-rata kuartalan dilihat secara tahunan. Namun satu tahun berikutnya atau pada 2023, pertumbuhannya berkurang 3% pada setahun berikutnya. Meski begitu jumlah pengguna aktifnya masih tergolong banyak, yakni mencapai 1,4 miliar orang.
Baca Juga: Honor Magic 6 Pro Meluncur Global, Enggak Dijual di Amerika Serikat
TikTok memiliki nasib berbeda-beda di tiap wilayah, seperti juga di Uni Eropa (UE). Pemerintahan setempat secara resmi menyelidiki kepatuhan TikTok terhadap Undang-Undang Layanan Digital (DSA).
Menyadur pengumuman resmi laman Komisi Uni Eropa, poin yang menjadi fokus Komisi Eropa dalam penyelidikan TikTok adalah terkait dengan perlindungan anak di bawah umur, transparansi periklanan, akses data bagi peneliti, dan manajemen risiko desain yang membuat ketagihan serta konten berbahaya.
DSA adalah sebuah ketentuan umum, yang mewajibkan perusahaan besar bidang teknologi untuk memoderasi konten, melindungi privasi pengguna, dan mengatasi risiko terhadap publik.
The New York Post melaporkan, berdasarkan regulasi DSA, perusahaan teknologi dapat didenda sebanyak 6% dari pendapatan tahunan mereka jika terbukti melanggar peraturan. Mereka juga dapat dilarang sepenuhnya di Eropa karena berbagai pelanggaran.
Baca Juga: MWC 2024: Infinix Pamerkan Ponsel Gaming Dual-core Pertamanya
Komisi Uni Eropa diketahui juga bakal memeriksa alat verifikasi usia TikTok yang seharusnya mencegah akses anak di bawah umur terhadap konten yang tidak pantas.
Pada saat yang sama, hal ini akan memaksa platform media sosial tersebut untuk memastikan privasi, keselamatan, dan keamanan tingkat tinggi bagi anak di bawah umur sehubungan dengan pengaturan privasi default.
Eropa juga sedang mempertimbangkan kepatuhan TikTok terhadap kewajiban DSA, untuk menyediakan tempat penyimpanan iklan yang dapat dicari dan diandalkan. Selain itu, mereka juga menyelidiki dugaan kekurangan dalam akses peneliti terhadap data TikTok yang dapat diakses publik, seperti yang disyaratkan oleh DSA.
CEO TikTok, Shou Zi Chew, sebelum ini telah dua kali dikecam di Capitol Hill, atas kegagalan aplikasinya dalam melindungi anak di bawah umur. Salah satu tuntutan yang dilayangkan parlemen kepada TikTok pada sidang bulan lalu, yakni mengenai pelecehan seksual terhadap anak secara online.
Parlemen Amerika Serikat saat itu juga meminta keterangan para CEO perusahaan teknologi lainnya, seperti X, Discord, Snap, dan Meta.
Selain soal moderasi konten, Chew juga pernah menghadapi pertanyaan sulit dari anggota parlemen mengenai perusahaan induknya, ByteDance; terkait hubungannya dengan pemerintah China.