Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik, sudah terbit.
Perpres ini menjadi regulasi baru yang memperkuat komitmen Pemerintah untuk melaksanakan transisi energi menuju Net Zero Emission (NZE), dalam rangka peningkatan investasi; percepatan pencapaian target bauran energi terbarukan dalam bauran energi nasional sesuai dengan kebijakan energi nasional; penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
Ketentuan mengenai percepatan pengembangan energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik, yang diatur di dalam Perpres ini, antara lain mencakup Pembangkit Listrik Tenaga Air, Panas Bumi, Surya, Bayu, Biomassa, Biogas, Tenaga Air Laut, dan Bahan Bakar Nabati.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI, Dadan Kusdiana mengatakan, Perpres ini dalam perjalanannya mengalami beberapa perubahan dari sisi substansi.
"Sebelumnya, kami ingin ada acuan harga listrik yang akan dibeli secara single offtaker oleh PLN. Tetapi kemudian menjadi lebih luas dan komprehensif dengan apa yang sedang disusun, dikembangkan, didorong dan dijalankan oleh Pemerintah untuk transisi energi menuju NZE," tuturnya, dilansir dari laman kementerian terkait.
Indonesia Tidak Akan Bangun PLTU Baru
Menurut Dadan, meskipun penamaan Perpres ini terkait dengan EBT, tetapi di dalamnya terdapat pengaturan-pengaturan secara khusus yang memprioritaskan pengembangan pembangkit EBT dan menghentikan pembangkit PLTU. Dalam perpres ini disebutkan secara jelas, Indonesia tidak akan membangun PLTU yang baru.
"Kecuali yang sudah masuk dalam rencana, RUPTL, PSN (Proyek Strategis Nasional), yang memberikan kontribusi ekonomi secara strategis dan besar secara nasional. Itu juga diikat di dalamnya bahwa dalam 10 tahun setelah pembangkit tersebut beroperasi, emisi GRK harus turun minimal 35 persen," jelasnya.
Dadan menyatakan, pemerintah akan terus berupaya mematuhi komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris. Komitmen yang dimaksud yaitu komitmen penurunan Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% dengan kemampuan sendiri atau 41% dengan bantuan internasional pada 2030 sesuai Nationally Determined Contributions (NDCs). Sedangkan untuk Net Zero Emission (NZE) sektor energi, ditargetkan akan dicapai pada 2060 atau lebih cepat.
"Dengan terbitnya Perpres ini, kita jadi punya suatu regulasi yang mendukung percepatan EBT menjadi lebih komprehensif. Kebijakan harga yang lebih jelas, yang ditetapkan oleh Presiden, yang selama ini regulasi berada dalam level Peraturan Menteri," imbuh Dadan.
Menarik Investasi Baru
Perpres ini diharap mampu menarik investasi khususnya investasi hijau dari pembangkit beserta hal terkait lainnya, dan dapat mendorong peningkatan bauran EBT.
Dengan semakin lengkapnya regulasi, maka akan ada investasi-investasi industri pendukung. Pada akhirnya meningkatkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dengan menjaga daya saing dan kompetisi.
"Dengan tersedianya pembangkit listrik hijau, diharapkan akan mendorong green industry. Untuk industri-industri yang harus memanfaatkan energi bersih, kami punya target 23 persen pada 2025," tutur dia.
Presiden meminta Kementerian/Lembaga terkait sesuai kewenangannya, bisa melakukan upaya-upaya penguatan regulasi dan program kegiatan. lanjut Dadan.
"Kami sudah melakukan sinergi dengan lembaga dan kementerian lain untuk melakukan rule improvement. Kementerian ESDM akan secara pro aktif, berdiskusi dan melakukan pembahasan untuk menyusun regulasi lain, yang kami lakukan secara paralel," urainya.
Di laman terpisah, Dept. Bidang Koordinasi dan Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Marves Nani Hendiarti mengatakan, NZE ini diharap mampu terwujud dengan cara adil dan biaya yang cukup terjangkau. Untuk itu diperlukan adanya pengembangan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan juga blended Finance.
"Proses menuju EBT ini, juga bisa memperkuat peluang kerjasama Indonesia dengan negara maju dalam konteks energi transisi," ujarnya.