Beberapa waktu lalu kita digemparkan dengan informasi mengenai siswa kelas 6 Sekolah Dasar (SD) yang mengalami depresi, usai ponsel miliknya diam-diam dijual oleh orangtuanya.
Kasus yang dialami oleh warga Kota Cirebon, Jawa Barat itu, diduga dipicu oleh desakan ekonomi.
Psikolog Klinis Universitas Aisyiyah Yogyakarta (UNISA), Ratna Yunita Setiyani Subardjo, S.Psi., M.Psi., mengungkap bahwa masih banyak orang tua yang merasa bahwa segala milik anak menjadi hak orang tua, tanpa memperhatikan hak anak dan bagaimana secara lebih jauh perasaan anak.
Namun kejamnya, dalam kasus anak di Kota Cirebon, sang buah hati langsung dilabel depresi tanpa diagnosis pasti dari profesional.
Baca Juga: Super Air Jet Buka Rute Penerbangan Kediri-Balikpapan Mulai Juni 2024
Menurut Ratna, jika dilihat dari sisi anak, jika memang benar kondisinya merupakan depresi, maka kita mesti jeli dan teliti untuk melihat apakah gejala-gejala tadi muncul secara regularly atau hanya dilihat saat setelah kejadian ponselnya dijual.
Pertama, harus terlebih dahulu melihat track record untuk bisa menemukan beberapa faktor. Karena depresi itu sendiri muncul bukan hanya dikarenakan satu faktor melainkan beberapa faktor.
"Jadi jangan hanya mengandalkan satu keterangan setelah kejadian, lantas kita menyimpulkan sesuatu secara tiba-tiba, yang kemudian kita yakini sebagai depresi,' tegas Ratna, seperti dilansir dari keterangan tertulisnya, Senin (20/5/2024).
Melihat kasus anak di Kota Cirebon tadi, seharusnya dilakukan pendalaman dengan cara menarik mundur untuk mencari track record anak.
"Karena depresi tidak hanya terjadi pada satu faktor, melainkan faktor-faktor lainnya juga," terangnya.
Misalnya, pada kasus di Cirebon, anak tersebut tidak bisa dikatakan depresi oleh satu faktor -usai sang ibu menjual ponsel yang ia beli dari uang yang ditabungnya-.
"Jadi perlu dicari tahu penyebab lainnya. Bukan justru menyudutkan anak dengan anggapan depresi tanpa lebih jauh kita dalami," lanjut Ratna.
Sementara itu dari sisi ibu, dalam hal apapun seharusnya akan lebih baik jika Ibu mengomunikasikan terlebih dahulu niatan untuk menjual ponsel anak.
"Mengajak berdiskusi adalah bagian dari pengasuhan demokratis. Anak juga memiliki hak yang sama dalam berbicara dan menentukan pendapatnya sendiri," imbuh penjelasan Ratna.
Ratna juga menyoroti kondisi sang ayah yang absen memberi nafkah keluarga selama 8 bulan. Kondisi ini tentu berdampak pula bagi psikologis sang ibu.
Ia melihat, hal ini memperberat kondisi keluarga tersebut. Pada akhirnya, bisa dilihat rentetan akar dari peristiwa 'jual ponsel anak' itu.
Dimulai dari sang ayah yang tidak memberi nafkah, menyebabkan ibu menjadi depresi. Kemudian, sang ibu melampiaskan kepada anak untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, yang berdampak pada psikologis anak dalam kondisi mudah marah, mengamuk dan melakukan beberapa tindakan agresif baik kepada diri sendiri maupun orang lain.
Delapan bulan tidak dinafkahi, bagi sang ibu adalah waktu yang tidak sebentar. Sehingga selama fase waktu tersebut dapat menimbulkan emosi negatif pada sang ibu, yang berimbas pada anak-anaknya, dan terjadi secara berulang-ulang hingga memunculkan perilaku yang merugikan bukan hanya fisik tapi juga mental anak.
Klimaksnya, saat ibu menjual ponsel milik anak, yang dibelinya dari hasil menabung selama beberapa bulan. Faktor lain yang memberatkan kondisi anak adalah, ponsel itu merupakan benda yang sangat diinginkan oleh anak; hingga membuatnya rela menabung.
Baca Juga: Starlink Resmi Beroperasi di Indonesia, Simak Harga Langganan Paket Personal
"Tetapi ia harus merelakannya lenyap begitu saja," tambah Ratna.
Mengenal Apa Itu Depresi
Definisi depresi merupakan gangguan suasana hati yang cenderung bersifat sedih secara berkepanjangan, dengan gejala seperti kehilangan minat atau demotivasi dengan kondisi fisik yang tidak mendukung seperti merasa mudah lelah.
Wajib diingat, depresi itu sendiri bertingkat, mulai dari low, medium, hingga severe atau rendah, sedang, hingga tinggi.
Selain merasakan kesedihan secara berkepanjangan lebih dari dua pekan, gejala lainnya adalah adanya perasaan ingin menarik diri, dan kondisi fisik terasa mudah lelah.
Secara umum, ada beberapa faktor depresi mulai dari faktor genetik, faktor peristiwa dan faktor lingkungan.
Keluarga sebagai support system terbesar menjadi bagian penting dari bermulanya depresi, jika memang keluarga justru memberikan pengasuhan yang tidak berkualitas.
Ketika salah satu dari keluarga memiliki kesehatan mental yang kurang baik maka akan menurun pada keturunan selanjutnya. Kalau untuk faktor peristiwa, biasanya dari rasa traumatis yang tidak menyenangkan pada masa lalu.
Terakhir, faktor lingkungan yang biasanya dari keluarga sebagai lingkungan terdekat. Ketika lingkungan keluarga tidak sehat tentu ini bisa menjadi penyebab salah satu faktor seseorang mengalami depresi.
Baca Juga: NTT DATA Bangun JKT2A, Memperluas Platform Jaringan Pusat Data di Indonesia
Ratna menjelaskan, anak di Cirebon dalam kasus ini telah berusia 13 tahun, ini adalah fase peralihan dari anak-anak menuju masa remaja.
Sejumlah teori menjelaskan, di fase ini seorang anak memerlukan dukungan besar karena ini masuk pada fase self center dan support mode on.
Harusnya dalam fase ini anak bisa mendapatkan lingkungan sosial yang mendukungnya, dengan demikian ia akan sangat semangat dan berenergi untuk mendapatkan sesuatu yang disukai.
"Namun ketika berada dalam lingkungan yang tidak mendukung, maka anak akan merasakan kegagalan atau rendah diri," ujar dosen Psikologi UNISA ini.
Apakah Mental Anak di Cirebon Bisa Pulih?
Dalam kasus anak di Cirebon, sang anak sempat mengalami fase ketekunan, ia rela menabung untuk bisa mendapatkan ponsel. Saat harapannya tercapai, maka muncul rasa kebanggaan, dan ponsel menjadi sesuatu yang berharga baginya.
Akan tetapi, secara tiba-tiba tanpa diinginkannya, ponsel tersebut harus dijual bukan atas dasar keinginan dirinya sendiri.
Maka saat itu juga timbul perasaan kecewa, marah, dan memberontak karena merasa lingkungan keluarga tidak mendukungnya.
"Saat itulah ia merasa bahwa keluarga bukan menjadi support system dirinya, namun justru menjadi pemicu masalah psikologis. Berakibat pada perilaku agresif dan emosional yang tak mampu ia tanggung sendiri," sebut Ratna lagi.
"Jika dibiarkan, maka akan mengakibatkan munculnya depresi seperti yang dituduhkan dan dikhawatirkan," kata dia.
Dibutuhkan waktu untuk membawa kondisi anak normal kembali, sembari mendapatkan pengawasan dari tenaga profesional, dan dukungan suasana lingkungan keluarga yang positif.