Suku Jawa di Indonesia mengenal sosok Gatot Kaca sebagai salah satu tokoh pewayangan yang dijuluki otot kawat tulang besi.
Hal itu kemudian menginspirasi 11 mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI) dalam merancang Gatot Tower, gedung 19 lantai yang digadang memiliki efisiensi revenue dan performa seismic yang sangat tinggi.
Desain Gatot Tower mengantarkan tim FTUI masuk 10 besar dan raih best poster pada ajang EERI Seismic Design Competition yang diselenggarakan di Salt Lake City, Utah, USA.
Baca Juga: Hidup Di Negeri Cincin Api, Ini Cara Mahasiswa UNY Beri Mitigasi Bencana Untuk Anak-anak
Ketua tim FTUI, James Andrean Noel mengatakan, tantangan dalam kompetisi ini adalah merancang bangungan tinggi yang mampu bertahan dari gempa. Selain memperkuat konsep struktur desain Gatot Tower, tim kami juga memasukkan unsur kearifan lokal Indonesia dan Salt Lake City pada arsitektur bangunan.
"Kami mengambil inspirasi dari desain rumah panggung Indonesia dan karakteristik bangunan cliff dwelling Salt Lake City dalam perancangan Gatot Tower,” ujarnya, dikutip dari laman universitas itu, Rabu (19/10/2022).
Mendesain gedung tinggi tahan gempa, James tidak sendirian. Ia bersama dengan mahasiswa Departemen Teknik Sipil dan Departemen Arsitektur FTUI angkatan 2019 lainnya. Yaitu Fahmi Katab, Naufal Budi, Ferdinand Trestanto, Michael Loreantz, Kanaya Diva, Eric Renaldy, Gagas Wicaksana, Juan Fidel, Adinda Khairunnisa, dan James Paul Arthur. Dalam perancangan Gatot Tower, tim FTUI dibimbing oleh dosen dan guru besar FTUI, Josia Irwan Rastandi dan Prof. Ir. Widjojo A. Prakoso.
Baca Juga: Mendung-mendung, Langka Cahaya Matahari Sebagai Sumber Vitamin D? Coba Konsumsi Makanan Berikut
Naufal Budi mengungkap, struktur bangunan Gatot Tower juga dirancang dengan area inverted yang menjadi keunikan desain tersendiri. Dari segi ekonomi, bangunan ini memiliki efisiensi antara revenue dan performa seismic yang sangat tinggi.
"Dibandingkan pada rata rata bangunan di USA yang hanya 80% efisiensi revenue-nya, Gatot Tower terbukti memiliki efisiensi revenue lebih dari 95%,” kata Naufal.
Sementara itu dari segi kekuatan struktural, bangunan Gatot Tower menggunakan material balsa, teknologi shear wall serta dinding geser untuk meningkatkan kemampuan performa seismik.
Bangunan Gatot Tower mampu menahan gempa berdasarkan data ground motion yang dihasilkan saat dilakukan pengujian menggunakan meja getar di hadapan dewan juri di Salt Lake City. Gedung rancangan tim FTUI ini mampu bertahan menghadapi gempa hingga 5.5 SR.
Dekan FTUI, Prof. Dr. Heri Hermansyah mengapresiasi prestasi yang telah diraih tim mahasiswa FTUI pada kompetisi itu. Menurutnya, kolaborasi dan teamwork yang unggul antara teknik sipil dan arsitektur terbukti dapat menghasilkan inovasi rancang gedung yang baik.
"Saya berharap inovasi ini dapat diimplementasikan pada daerah-daerah rawan gempa di Indonesia. Inovasi pemecahan masalah karya anak bangsa perlu mendapatkan perhatian dan dukungan penuh dari semua pihak untuk dapat terus dikembangkan agar berdampak bagi masyarakat, bangsa, dan negara,” ujarnya.
Kenapa Indonesia Rawan Dilanda Gempa Bumi?
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika mendefinisikan gempabumi sebgaai peristiwa bergetarnya bumi akibat pelepasan energi di dalam bumi secara tiba-tiba yang ditandai dengan patahnya lapisan batuan pada kerak bumi.
Akumulasi energi penyebab terjadinya gempabumi dihasilkan dari pergerakan lempeng-lempeng tektonik. Energi yang dihasilkan dipancarkan kesegala arah berupa gelombang gempabumi sehingga efeknya dapat dirasakan sampai ke permukaan bumi.
Gempabumi berlangsung dalam waktu yang sangat singkat, terjadi di lokasi kejadian tertentu dan akibatnya dapat menimbulkan bencana. Gempa juga berpotensi terulang lagi dan belum dapat diprediksi maupun dicegah. Tetapi akibat yang ditimbulkan dapat dikurangi.
Indonesia merupakan daerah rawan gempabumi karena dilalui oleh jalur pertemuan tiga lempeng tektonik, yaitu: Lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik.
Lempeng Indo-Australia bergerak relatif ke arah utara dan menyusup kedalam lempeng Eurasia, sementara lempeng Pasifik bergerak relatip ke arah barat.
Jalur pertemuan lempeng berada di laut sehingga apabila terjadi gempabumi besar dengan kedalaman dangkal maka akan berpotensi menimbulkan tsunami sehingga Indonesia juga rawan tsunami.
Ketika hidup di negara rawan gempa dan kebutuhan bangunan vertikal menjadi tren, maka mendesain gedung tinggi rawan gempa jadi solusi bukan?