Techverse.asia - Teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) menawarkan efisiensi dan meningkatkan produktivitas kerja. Kendati begitu, AI juga mengancam beberapa lapangan pekerjaan, utamanya di sektor-sektor yang tergantung pada pekerjaan yang berulang (repetitif) yang dapat diotomatisasi.
Baca Juga: Sony x LE SSERAFIM: Hadirkan Warna Smoky Pink untuk WH-1000XM5 dan WF-1000XM5
Para pekerja perempuan pun punya dampak yang lebih besar daripada pria akibat automasi itu. Menurut hasil riset yang dilakukan oleh IMD World Talent Ranking 2024, terdapat tiga poin penting pengaruh kecerdasan buatan terhadap lowongan pekerjaan.
Pertama, AI bakal mengubah lapangan kerja, tapi belum ada penelitian lebih komprehensif yang menunjukkan apakah kecerdasan buatan akan menambah atau justru menguranginya. Kalau AI meniadakan beberapa lapangan kerja yang saat ini ada, maka pemerintah perlu berpikir bagaimana cara untuk membuka lapangan kerja baru.
Kedua, berdasarkan data Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO) PBB, kecerdasan buatan akan mengubah atau menggantikan setidaknya 5,5 persen pekerjaan di negara yang memiliki tingkat pendapatan tinggi dan cuma kurang dari 0,4 persen di negara berpenghasilan rendah.
Baca Juga: Qualcomm Akan Akuisisi Intel?
"Hal itu terkait dengan lebih terbatasnya akses teknologi di negara kurang berkembang," jelas Direktur IMD World Competitiveness Center (WCC) Arturo Bris, Minggu (22/9/2024).
Ketiga, algoritma kecerdasan buatan bakal meningkatkan diskriminasi di tempat kerja. Data ILO menunjukkan bahwa automasi pekerjaan akan mempengaruhi berdasarkan gender. Otomatisasi pekerjaan dengan AI akan berdampak terhadap perempuan di negara maju sebesar 7,9 persen dibanding pria persentasenya 2,9 persen.
Sementara itu, di negara berkembang perempuan (2,7 persen) juga lebih terdampak teknologi tersebut ketimbang pria (1,3 persen), sehingga pemakaian AI untuk promosi, rekrutmen, dan evaluasi kinerja, perlu mengevaluasi ulang tentang keadilan dan akuntablitas algoritma AI yang digunakan.
Baca Juga: SearchGPT: Mesin Pencari Bertenaga Kecerdasan Buatan dari OpenAI
Oleh karena itu, pemerintah serta penentu kebijakan diimbau untuk segera melakukan antisipasi. Misalnya dengan menyiapkan pelatihan ulang tenaga kerja dan rencana penanggulangan terhadap tingkat pengangguran dari mereka yang terdampak akibat kecerdasan buatan serta kaum marjinal.
"Pencegahan tersebut harus dilakukan guna tak berkembang menjadi gejolak sosial dan berdampak kemampuan suatu negara untuk menarik talenta asing," katanya.
Pasalnya, para tenaga ahli asing kurang berminat untuk datang ke negara-negara yang punya persoalan sosial, jadi mereka lebih memilih lari ke negara lain. Kurangnya daya tarik itu akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi juga.
Masih berdasarkan riset IMD World Talent Ranking (WTR) 2024, tingkat daya saing keahlian sumber daya manusia (SDM) di Indonesia naik ke peringkat 46 dunia di 2024 dari peringkat 47 tahun lalu.
Baca Juga: Kosmetik Berbahan Antioksidan Makin Laris, Tren AI Mengubah Lanskap Bisnis
Pemeringkatan WTR 2024 dilakukan berdasarkan tingkat kemampuan dan keahlian tenaga kerja di suatu negara untuk mengisi lowongan pekerjaan baru dan bagaimana bisnis bisa mengembangkan keterampilan karyawan yang ada.
"Beberapa negara memiliki sistem pendidikan yang sangat baik, tetapi gagal mempersiapkan SDM mereka dan menarik talenta (asing) yang tepat untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja," paparnya.
Riset tersebut menggabungkan 31 data statistik dan respons survei dari 67 negara yang dikelompokkan dalam tiga indikator: tingkat investasi dan pengembangan talenta, kesiapan SDM, dan kemampuan suatu negara untuk menarik talenta asing.
Apabila dikomparasi dengan sejumlah negara yang ada di Asia Tenggara, daya saing keahlian talenta Indonesi ada di peringkat ketiga. Urutan pertama dan kedua masing-masing diisi oleh Singapura dan Malaysia, sedangkan urutan keempat dan kelimanya ialah Thailand dan Filipina.
Baca Juga: Bose Smart Soundbar Resmi Rilis, Kini Disertai AI Dialogue Mode