Pandemi Covid-19 telah membuat perubahan yang masif pada berbagai aspek seperti ekonomi, sosial, dan politik. Era digital juga telah membuat seluruh aktivitas berubah tidak seperti biasanya.
Baca Juga: Kabar Melegakan Hari Ini: Empat Anak Pasien Gagal Ginjal Akut Di Yogyakarta, Dinyatakan Sembuh
Seiring waktu bila kita kaji lebih jauh, ternyata digitalisasi pada akhirnya bukan hanya diterapkan pada kendaraan, sistem transaksi, sistem pendidikan, melainkan juga politik. Ya, di masa kini, diplomasi dikabarkan mengalami pergeseran menjadi diplomasi digital atau yang lebih dikenal dengan digital diplomacy.
Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan (HI UNPAR), Prof. Sukawarsini Djelantik, Dra, M.Int.S, PH.D mengatakan, topik hard power seperti kerja sama militer, kerja sama ekonomi, bilateral, kepentingan nasional, dan lain-lain sudah semakin sedikit peminatnya.
Baca Juga: Sosok 'Uzumaki' Dalam Electric Bike Dan Merch Culture Fly x Super73
"Diplomasi yang memanfaatkan teknologi digital sangat penting untuk dikembangkan," tuturnya, dikutip Techverse pada Selasa (25/10/2022).
Hal tersebut dikarenakan digital diplomacy memiliki beberapa dampak positif, yakni membatasi Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi lebih murah, akses dan ketersediaan pemerintah ke seluruh warga yang lebih massal dan terbuka, serta meningkatkan efisiensi dalam pelayanan.
Ia menerangkan, ada beberapa tujuan dari diplomasi digital. Antara lain yaitu memperoleh dan mengelola informasi. Tujuan lainnya, yaitu mendukung diplomasi publik, mengelola informasi agar tepat sasaran dan komunikasi konsular dan merespons krisis.
Baca Juga: Ketimbang Sibuk Dengan Pro Kontra Aborsi, Pengembang Menstrual App Sempurnakan Fitur Fertility
Diplomasi digital juga bisa dijadikan teknik dalam merespon bencana, contohnya bisa kita lihat saat dunia dilanda pandemi Covid-19.
Diplomasi digital yang juga didukung adanya kebebasan internet di mana seluruh masyarakat bebas mengakses informasi, bisa dijadikan cara dalam memanfaatkan sumber daya eksternal serta merancang kebijakan.
Bukan hanya menjelaskan mengenai pergeseran sistem politik yang kini juga mengenal diplomasi digital, Sukawarsini juga memperkenalkan istilah Twiplomacy atau Diplomasi Twitter.
Diplomasi Twitter, yakni saat diplomasi atau komunikasi dilakukan melalui aplikasi Twitter, bertujuan untuk mendapatkan respons publik.
Ia menyebutkan, berdasarkan data yang dipublikasikan pada November 2021, Presiden Joko Widodo menempati posisi ke-5 sebagai tokoh pemerintahan dengan pengikut terbanyak.
“Kita bisa melihat dari sini, popularitas dari seorang pemimpin bisa dilihat dari pengikutnya dari Twitter,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, pendekatan komunikasi pada diplomasi digital mengandaikan pemerintah menjadi pemegang kendali. Pemerintah menjadi aktor utama dan pertama yang dapat memiliki ide, merancang berbagai program/aktivitas, termasuk melihat bentuk program yang akan dijalankan.
Bukan hanya itu, keterlibatan aktor non negara juga memiliki peran signifikan dalam diplomasi multi jalur ini. Aktor non negara dapat meliputi kelompok bisnis, kelompok pendidikan, organisasi kemasyarakatan, dan lain-lain.
“Kalau diplomasi multi jalur ini, banyak aktor-aktor non negara yang sifatnya mendukung diplomasi publik tersebut,” ujarnya.
Meskipun demikian, Sukawarsini menyatakan bahwa, hal yang terpenting dalam diplomasi publik adalah media.
Efektivitas sebuah program nantinya akan diukur dari respon yang didapatkan oleh sasaran yakni masyarakat di negara penerima, bukan negara sendiri. Hal ini merupakan upaya nation branding atau membangun citra positif di negara lain.
Sebagai contoh, negara Korea Selatan berhasil memiliki citra positif di mata masyarakat Indonesia.
“Diplomasi Publik Korea sangat berhasil, kita harus melakukan hal yang sama entah gimana caranya,” tuturnya.