Techverse.asia - Pasar kripto terkoreksi cukup dalam pascarilis beberapa data ekonomi Amerika Serikat (AS) baru-baru ini. Bitcoin yang sempat mengalami kenaikan di atas US$100 ribu kembali turun ke level US$96 ribu.
Penurunan tersebut turut diiringi dengan penurunan mayoritas aset kripto di pasar termasuk aset kripto besar lainnya seperti DOGE, AVAX, LINK, DOT, dan UNI yang masing-masing mengalami penurunan lebih dari 10 persen dalam waktu 24 jam terakhir.
Baca Juga: Usai 6 Tahun Hengkang, Honor Akhirnya Resmi Kembali ke Indonesia
Penurunan juga terjadi di pasar saham AS yang ditutup di zona merah pada Selasa (7/1/2025) kemarin waktu setempat. Penurunan terbesar terjadi pada sektor teknologi, dengan indeks Nasdaq Composite anjlok sekitar 1,9 persen.
Sementara itu, saham Nvidia (NVDA), yang sebelumnya mencetak rekor harga penutupan, merosot lebih dari 6 persen terlepas dari adanya paparan perusahaan terkait rencana besarnya di bidang kecerdasan buatan (AI).
Di pasar obligasi, imbal hasil Treasury AS bertenor 10 tahun naik sekitar 7 basis poin, mendekati level 4,7 persen. Kenaikan tersebut mengindikasikan meningkatnya keraguan investor terhadap potensi berlanjutnya tren penurunan suku bunga The Fed.
Baca Juga: 6IXTY8IGHT x PEANUTS Rilis Koleksi Pakaian untuk Musim Dingin/Gugur
Analyst Reku Fahmi Almuttaqin mengatakan bahwa terkoreksinya pasar kripto dan Saham AS tersebut dipicu oleh meningkatnya kekhawatiran investor terhadap potensi meningkatnya tekanan inflasi AS, yang mungkin dapat membuat The Fed tidak lagi melanjutkan penurunan suku bunga pada pertemuan FOMC akhir bulan ini.
"Indikasi inflasi yang meningkat terlihat pada beberapa data ekonomi yang dirilis tadi malam, diantaranya seperti aktivitas sektor jasa yang melonjak ke level tertinggi dalam hampir dua tahun terakhir, defisit perdagangan yang melebar sebesar US$4,6 miliar menjadi US$78,2 miliar, dan jumlah rekrutmen tenaga kerja yang turun 125 ribu menjadi 5,269 juta," ujar Fahmi, Kamis (9/1/2025).
Aktivitas sektor jasa di Amerika Serikat meningkat pada Desember lalu, menunjukkan kondisi permintaan yang masih kuat. Namun, biaya input untuk bisnis jasa juga melonjak, yang mengindikasikan kondisi inflasi yang masih tetap tinggi.
Baca Juga: Pasar Kripto Koreksi di Akhir Tahun, Diproyeksi Hanya Sementara?
Menurut laporan Institute for Supply Management (ISM) menunjukkan bahwa indeks PMI sektor jasa naik dari 52,1 pada November menjadi 54,1 di Desember, melampaui perkiraan ekonom yang memproyeksikan angka 53,3.
Indeks harga yang dibayarkan (prices paid) untuk sektor jasa melonjak dari 58,2 di bulan November menjadi 64,4 di Desember, yang merupakan level tertinggi sejak Februari 2023. Kenaikan tersebut menyoroti tantangan inflasi yang masih kuat sejalan dengan pandangan The Fed untuk mengurangi pelonggaran di tahun ini.
Di sisi lain, kondisi neraca perdagangan AS juga tidak kalah mengkhawatirkan, meskipun masih berada pada kondisi yang cukup stabil.
Baca Juga: Reku Dapat Lisensi PFAK dari Bappebti, Siap Genjot Pertumbuhan Industri Kripto Indonesia
"Pelebaran defisit yang disebabkan oleh peningkatan impor yang lebih tinggi dapat menjadi faktor pendukung arah kebijakan Presiden AS terpilih, Donald Trump, untuk menaikkan tarif, yang jika terjadi, memiliki potensi signifikan untuk turut mendorong kenaikan inflasi," jelasnya.
Kenaikan tarif impor, apabila diberlakukan dapat turut berdampak pada sektor tenaga kerja. Data pasar tenaga kerja AS pada November 2024 yang dirilis malam tadi menunjukkan pertumbuhan rekrutmen pekerja yang mulai melambat dengan turunnya jumlah rekrutmen sebesar 125 irbu, meskipun jumlah lowongan pekerjaan mengalami peningkatan sebesar 259 ribu menjadi 8,098 juta.
"Situasi tersebut mungkin mengindikasikan meningkatnya kehati-hatian para pelaku usaha di tengah outlook ekonomi yang beragam saat ini," katanya.
Baca Juga: Bitcoin Tembus Rp1 MIliar Lebih untuk Pertama Kalinya, Berlanjut Hingga 2025?