Techverse.asia - Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) Republik Indonesia menyatakan akan merancang kebijakan mengenai perlindungan anak-anak di ruang digital. Inisiasi tersebut didasarkan pada perintah Presiden Prabowo Subianto agar lebih memperhatikan konsumsi digital masyarakat, khususnya kelompok anak-anak di bawah umur.
Baca Juga: ASUS TUF Gaming A18: Laptop Gaming dengan Ukuran Layar dan Desain Sasis Baru
Pakar digital sekaligus peneliti Center for Digital Society (CfDS), Universitas Gadjah Mada (UGM) Hafiz Noer mengatakan bahwa pemerintah perlu menentukan metode dan sasaran seperti apa yang ingin diambil dalam kebijakan. Upaya penetrasi literasi digital dan adaptasi masyarakat bukanlah inisiatif baru.
Bahkan gerakan masyarakat dan lembaga non pemerintah saat ini sudah merintis berbagai program untuk meningkatkan literasi digital masyarakat, baik melalui platform maupun edukasi.
“Saya kira hal pertama yang perlu dilakukan adalah mengevaluasi kebijakan sebelumnya yang telah dilakukan oleh Komdigi. Kami di CfDS bersama Komdigi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lainnya juga telah bersinergi dan masih berjalan sampai sekarang,” ungkap Hafiz, Senin (27/1/2025).
Baca Juga: Lawan Serangan Siber, MDI Ventures Berinvestasi ke Perusahaan Rintisan di Singapura
Menurut dia, penting bagi pemerintah agar melihat sebuah kebijakan sebagai langkah progresif, bukan hanya inisiatif baru. Apa yang telah dilakukan sebelumnya perlu dievaluasi untuk melihat kekurangan dan menentukan langkah yang akan diambil.
Hafiz melanjutkan, perlindungan anak-anak di ruang digital bisa dimulai dengan peningkatan literasi digital dan kecakapan digital. Mata pelajaran literasi digital sempat diusulkan agar dimasukkan dalam kurikulum merdeka.
Jenis pelajaran ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari mata pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) di kurikulum tingkat satuan pendidikan. Namun sayangnya, pada akhirnya pembelajaran digital tidak dimasukan sebagai mata pelajaran utama melainkan hanya sebagai bimbingan belajar.
Baca Juga: Kampus Kerja Sama dengan Platform Pinjol untuk Pembayaran UKT? Begini Kritik CfDS UGM
“Perlu dibedakan antara kecakapan digital dan literasi digital. Memang penting untuk memahami cara menggunakan perangkat Word, membuat coding, tapi jauh lebih penting untuk mempelajari etiket dan netiket berdigital,” ungkapnya.
Menurutnya, untuk membuat masyarakat lebih selektif dan bijak di ruang digital, literasi digital seharusnya menjadi prioritas dengan memposisikan masyarakat sebagai pengguna.
Selain pembelajaran, pemerintah mempunyai pilihan untuk menelaah kebijakan-kebijakan perusahaan penyedia platform digital seperti X/Twitter, Meta, Youtube, TikTok, dan lainnya.
Beberapa platform, khususnya media sosial telah mengembangkan content guidelines atau community guidelines untuk menyaring informasi. Seperti X misalnya, terdapat fitur community notes yang memungkinkan pengguna menambahkan catatan atau melabeli konten misinformasi.
Baca Juga: Literasi Digital Tekomsel Beri Bootcamp dan Workshop, Dorong Kreativitas Digital
“Kita tidak bisa mengeneralisir kebutuhan dan kondisi literasi digital, karena setiap platform menggambarkan pengguna yang berbeda. Tapi menurut saya masih perlu banyak upaya,” katanya.
Dijelaskannya bahwa dampak digitalisasi ini tidak hanya bagi anak-anak saja, namun juga orang tua dan lansia. Untuk itu, pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Urgensi literasi digital bisa dilihat dengan berbagai perkembangan misinformasi seperti penggunaan DeepFake dan AI Generatif. Hal ini bisa dilihat dalam survei nasional oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS) terhadap 1.200 masyarakat Indonesia.
Sebanyak 33,3 persen dari 11,8 persen responden yang pernah melihat konten DeepFake menyatakan percaya konten tersebut benar. Parahnya, 4,1 persen responden yang melihat konten DeepFake lainnya mengaku pernah membagikan konten tersebut.
Baca Juga: TikTok Perbarui Aturan Pedoman Komunitas, Melarang Deepfake Tokoh Nonpublik dan Dukungan Palsu
Melihat masifnya produksi konten digital dan persebarannya tentu pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Hafiz menambahkan, Komdigi bisa berkolaborasi dengan aliansi anti-hoaks dan pakar-pakar digital di masyarakat.
“Kami di CfDS UGM punya berbagai program kerja sama dengan organisasi lain seperti Mafindo. Harapannya gerakan masyarakat ini bisa terus didukung oleh pemerintah,” katanya.