Salah satu jenis penyakit autoimun adalah lupus, yang dapat menyebabkan dampak berbahaya ketika penderitanya mengalami anemia. Anemia merupakan kondisi ketika jumlah sel darah merah dalam tubuh lebih rendah dari normal. Dengan demikian, pengidapnya harus secara rutin memeriksakan kadar sel darah merah di tubuh mereka.
Salah satu komponen penting sel darah merah adalah hemoglobin, yang berfungsi mengikat oksigen.
Untuk membantu penderita autoimun lebih mudah memeriksakan hemoglobin mereka, tim mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menggagas detektor hemoglobin non-invasif. Detektor ini bukan hanya berfungsi untuk mengukur kadar hemoglobin, melainkan juga dapat memprediksi kemungkinan terjadinya penyakit anemia. Detektor ini beroperasi dengan bantuan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI).
Baca Juga: Google Bard Bisa Hasilkan Gambar Fotorealistik Hanya Lewat Perintah Tulisan
Pengembangan detektor hemoglobin non-invasif yang diberi nama Hemoglobest tersebut, dilakukan dengan menambahkan kecerdasan buatan STM32 di dalamnya.
Dengan adanya kecerdasan buatan, perangkat ini mampu melakukan perhitungan secara efisien, hingga mempercepat prediksi kondisi anemia. Kecerdasan buatan STM32 juga dapat menghemat daya dan berfungsi sebagai microcontroller.
"Detektor hemoglobin rancangan Tim Hemoglobest ITS ini nantinya dapat dikhususkan untuk mendeteksi dan memprediksi anemia bagi penderita Systemic Lupus Erythematosus (SLE)," demikian diungkap institut tersebut dalam sebuah pernyataan, dilansir Sabtu (3/2/2024).
Penderita lupus memerlukan pendekatan khusus dalam mendeteksi penyakit anemia, karena kadar hemoglobin yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan non-lupus.
Baca Juga: POCO X6 Series Sudah Dijual di Indonesia, Segini Harganya
Ketua Tim Hemoglobest ITS, Muhammad Taufiqul Huda, menjelaskan perihal anemia pada penderita lupus berpotensi merusak struktur sel organ tubuh.
Hal tersebut dapat terjadi karena perubahan kadar hemoglobin di dalam darah orang normal tidak sedrastis pada penderita lupus.
"Alat ini dilengkapi dengan sistem prediksi anemia sehingga dapat dipakai oleh penderita lupus sebagai peringatan dini," ujarnya.
Tidak seperti alat detektor hemoglobin kebanyakan, detektor gagasan mahasiswa ITS tersebut menggunakan prosedur secara non-invasif.
Prosedur ini mengacu pada tindakan medis yang tidak perlu memasukkan alat melalui sayatan pada kulit, sehingga tidak membuat kulit terluka.
"Dengan begitu, alat akan lebih mudah untuk digunakan serta tidak memberikan rasa sakit," ungkap mahasiswa yang juga tergabung dalam tim robotik Banyubramanta ITS itu.
Huda menambahkan, alat ini memakai lima spektrum cahaya yang nantinya akan diserap oleh hemoglobin dalam darah pada pembuluh kapiler jari tangan.
"Itu menjadikan hasil deteksi lebih efektif dibandingkan oximeter yang hanya menggunakan dua spektrum," terang mahasiswa Departemen Teknik Elektro ini.
Untuk mengetahui kadar hemoglobin melalui alat tersebut, spektrum cahaya yang masuk nantinya akan diterima oleh sensor dalam alat dan dianalisis pola dari masing-masing spektrumnya.
"Setelah dilakukan analisis, selanjutnya akan keluar kadar hemoglobin yang sedang membawa oksigen dan yang tidak membawa oksigen. Dari situ dapat dilihat kadar hemoglobin hingga prediksi anemianya," jelas dia.
Baca Juga: Google Bard Akan Berganti Nama Jadi Gemini
Baca Juga: 9 Startup NextDev Academy Masuk Tahap Inkubasi
Detektor hemoglobin non-invasif terbukti menghasilkan limbah lebih sedikit daripada detektor hemoglobin invasif. Penggunaan alat non-invasif akan mengurangi jumlah limbah medis yang dihasilkan, seperti test strip dan peralatan sekali pakai yang digunakan dalam prosedur invasif.
"Alat ini tentunya akan mengurangi limbah sampah medis yang ada di Indonesia," imbuhnya.