Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengungkap bahwa usia produktif, termasuk di antaranya usia muda merupakan borrower atau peminjam paling banyak pada platform financial technologi (fintech) lending atau pinjaman online (pinjol).
Ketua Umum AFPI, Entjik S.Djafar, menyebut hasil survei dan riset asosiasi mendapati, peminjam paling banyak berasal dari usia dari 20 tahun sampai 34 tahun. Dalam artikel di Antara yang dikutip Jumat (22/3/2024), Entjik menyebut jumlah mereka sebesar 80% dari keseluruhan peminjam di platform.
Fenomena tersebut, menurutnya, merupakan hal yang umum terjadi, dan tidak hanya dijumpai di Indonesia, melainkan negara-negara luar, seperti Singapura dan China.
Sebenarnya platform pinjaman teknologi keuangan atau yang juga biasa disebut peer-to-peer (p2p) lending sangat membantu masyarakat, utamanya usia produktif dan usia muda, kata dia. Namun, Entjik mengingatkan masyarakat untuk mampu memahami porsi kemampuan diri untuk membayar dan bijak saat meminjam dana.
CEO UKU, Tony Jackson, mengungkap bahwa sebanyak 66% dari peminjam usia produktif di platformnya berstatus sebagai karyawan, dan meminjam dengan tujuan paling banyak untuk modal Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
"Pekerjaan dan tujuan penggunaan dananya itu 66 persen adalah karyawan dan tujuan penggunaannya adalah untuk modal usaha UMKM," imbuh dia.
Baca Juga: 2 OTA Asing Belum Daftar Sebagai PSE, Kominfo: Kalau Tidak Daftar Juga, Kami Blokir
Direktur Komunikasi Korporat AFPI, Andrisyah Tauladan, menyatakan meski peminjam adalah anak muda, mereka masih mampu untuk membayar pinjaman mereka dengan pembayaran yang tergolong lancar.
Andrisyah menyebut, jumlah nilai pinjaman rata-rata usia produktif di platform pinjaman teknologi keuangan beragam, tergantung penghasilan masing-masing individu. Yakni berkisar antara Rp500.000 hingga Rp2,5 juta, dan Rp5 juta sampai dengan Rp10 juta.
Baca Juga: Alasan Oppo Find X7 Ultra 4 Kamera, Fotografi Komputasi hingga Mode Master
Sekretaris Jenderal Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH), Budi Gandasoebrata, menjelaskan perihal teknologi keuangan (financial technology) merupakan pilar penting pertumbuhan ekonomi di era digital, sehingga daya saingnya perlu ditingkatkan.
"Fintech tidak hanya tren, tetapi pilar penting dalam pertumbuhan ekonomi sebuah negara berdasarkan data yang ada," kata Budi.
Riset konsultan manajemen global McKinsey yang dirilis pada Oktober 2023 mendapati, fintech yang diperdagangkan secara publik mewakili kapitalisasi pasar sebesar US$550 miliar dolar pada Juli 2023, meningkat dua kali lipat dibandingkan pada 2019.
Pada periode yang sama juga terdapat lebih dari 272 fintech unicorn dengan valuasi gabungan sebesar US$936 miliar dolar , meningkat tujuh kali lipat dari sebanyak 39 perusahaan yang bernilai US$1 miliar pada kurun waktu lima tahun ini.
Menurut dia, industri pembayaran digital telah berkontribusi dalam meningkatkan efisiensi, pengurangan biaya, serta peningkatan keamanan transaksi.
Baca Juga: Aplikasi Pintu Merilis Web3 Wallet
Untuk itu, AFTECH berdiri pada 2016 dan terus berupaya bersinergi dengan seluruh pemangku kepentingan, untuk meningkatkan daya saing industri fintech, mendorong inklusi dan literasi keuangan bagi masyarakat.
"Awalnya 24 perusahaan bidang usaha sistem pembayaran dan peer to peer landing, saat ini terdapat 300 perusahaan teknologi keuangan dengan 25 model bisnis fintech, jelas merupakan sebuah inovasi dari teknologi itu sendiri," ujarnya.
Baca Juga: Honda Gandeng Brand Fesyen Lokal CRSL, Ubah Tampilan New Honda Stylo 160
AFTECH berharap dukungan seluruh pemangku kepentingan khususnya pemerintah dalam aspek kebijakan dan regulasi agar semakin baik.
Selain itu, juga dukungan keamanan siber, manajemen risiko, anti pencucian, serta kestabilan sistem keuangan.
"Kerja sama antara industri dan seluruh pemangku kepentingan tidak hanya mengatasi tantangan, tetapi juga akan mampu menciptakan ekosistem pembayaran digital yang inklusif dan berkelanjutan," tandasnya.