Pakar Dorong Sektor Publik Harus Lebih Tangkas dalam Menghadapi Transformasi Digital

Pemaparan Prof. David Eaves terkait infrastruktur digital di Indonesia (Sumber: CfDS UGM)

Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali mengadakan diseminasi riset, kali ini mengangkat topik 'Value Creation of Digital Public Infrastructure', sebagai rangkaian Digital Society Week 2024.

Dibangun dalam bentuk diskusi, narasumber pakar membahas bagaimana infrastruktur publik digital atau digital public infrastructure (DPI) perlu menciptakan manfaat bagi seluruh kalangan masyarakat.

Associate Professor in Digital Government di Institute of Innovation and Public Purpose, University College London, Prof. David Eaves, mengungkap bahwa sebagian besar dari anggaran belanja teknologi dunia dikuasai oleh negara Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan China.

Mereka membelanjakan 612 miliar dari 690 miliar dolar Amerika Serikat (total keseluruhan) dan meninggalkan sebagian kecil untuk seluruh negara-negara dunia yang tersisa.

Padahal, seringkali hasil-hasil keluaran yang lebih baik muncul dari negara-negara selain OECD dan China, seperti India dan Brazil.

Eaves mempertanyakan, apakah negara-negara OECD dan China ini perlu benar-benar menjadi model yang ingin dunia anut.

Di saat yang sama, dunia, termasuk Indonesia, mengalami ‘polikrisis’, di antaranya adalah krisis deforestasi dan perubahan iklim, tantangan fiskal, inklusivitas dan keragaman, pengentasan kemiskinan, serta pemulihan pandemi dan risiko pandemi baru di masa depan.

"Dalam aspek digital, para pemerintah di dunia seringkali merespon perubahan teknologi dengan menyediakan layanan digital. Namun cara berpikirnya masih berbasis kertas (paper-based way of thinking). Padahal, yang dibutuhkan adalah sebuah ‘interoperable government’, sebuah mekanisme yang lebih adaptif terhadap perubahan," kata dia, dalam diskusi itu, dilansir Selasa (8/10/2024).

Eaves mengilustrasikan mekanisme ini dan konsep DPI dengan analogi ponsel pintar, di mana terdapat komponen high variability (paling cepat berubah), stable interfaces (cenderung stabil), dan low variability (lebih lambat berubah), berdasarkan fleksibilitasnya terhadap perubahan.

Dalam konteks infrastruktur publik digital, komponen ini diterjemahkan menjadi pelayanan, komponen (yang umum), dan data.

Baca Juga: Leica M11-D: Hadirkan Pesona Klasik Fotografi Analog ke Dunia Digital

Dunia sesungguhnya dapat membayangkan implementasi DPI secara penuh karena keberadaan layanan swasta yang sudah lengkap, lanjut dia.

Namun, Eaves menguraikan risiko-risiko besar yang timbul bagi negara apabila pelaksanaan DPI secara penuh disediakan oleh pihak swasta. Sehingga, penyediaan infrastruktur ‘publik’ digital menjadi semakin penting.

Eaves melihat, Indonesia sudah memasuki perjalanan ini, seperti tampak pada studi kasus proses perkembangan KTP hingga menjadi KTP digital, serta pengalaman BPJS Kesehatan dan BNI.

Selain itu, Indonesia juga memiliki potensi talenta digital yang menjanjikan.

Baca Juga: Rilis Movie Gen, Meta: Movie Gen Bukan untuk Menggantikan Peran Seniman dan Animator!

Menghadapi proses ini, Eaves menyarankan sektor publik Indonesia untuk menjadi lebih tangkas dan mempertimbangkan potensi risiko dan pencapaian yang dapat ditimbulkan oleh pembangunan DPI. Kemudian, tata kelola yang tepat menjadi faktor yang sangat penting.

"Yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana tata kelola teknologi baru ini. Infrastruktur inti baru yang kita perlukan untuk menjalankan masyarakat modern, yang akan memungkinkan kita untuk memecahkan masalah publik, mencegah overreach dan penyalahgunaan, adalah proyek besar yang kita miliki di depan kita, yang harus kita pikirkan secara kolektif," lanjut dia.

Eaves juga menekankan soal kebutuhan adanya sejumlah besar orang yang cerdas, kreatif, dan berkomitmen, di Indonesia dan di seluruh dunia, untuk merumuskan pola yang tepat dalam menghadapi perubahan ini.

Baca Juga: SATUSEHAT Mobile Kini Bisa Digunakan untuk Mengakses Layanan Darurat 119

Sementara itu, Head of Research CfDS UGM, Hafiz Noer, menerangkan tentang konsep DPI dan penerapannya saat ini di Indonesia.

Pertama-tama, infrastruktur publik adalah infrastruktur yang dijamin oleh pemerintah dari aspek pendanaan, pengembangan, peremajaan, dan pemantauan.

Karena internet memberi pengaruh besar pada layanan publik, pola investasi, dan pola kerja masyarakat masa kini, infrastruktur digital membutuhkan paradigma ‘publik’. Ia mendeskripsikan DPI sebagai kombinasi dari hardware dan software, misalnya berupa identifikasi personal, layanan keuangan, dan pertukaran data.

Hafiz mengajak peserta untuk melihat elemen ‘publik’ pada pengembangan teknologi digital melalui dua pendekatan, yakni aspek ‘atribusi’ dan aspek ‘fungsi’.

Aspek atribusi ialah paradigma yang melihat kebermanfaatan dari atribusi teknis infrastruktur digital, yang mengedepankan efisiensi dan kemampuan sistem tersebut untuk berkembang. Sedangkan aspek fungsi berfokus pada fungsi dari infrastruktur digital itu sendiri, dengan mengasosiasikannya dengan berbagai nilai, seperti nilai sosial dan nilai ekonomi, demi mencapai kebermanfaatan sosial.

Pemaparan Hafiz Noer dalam diskusi sebagai rangkaian CfDS Digital Week 2024 (sumber: CfDS UGM)

Dalam diskusi itu, ia menyinggung kasus Satu Data Indonesia, wadah untuk menyimpan data pemerintah dan pelayanan publik di berbagai lembaga pemerintah.

Menurut Hafiz, temuan awalnya di lapangan mengenai Satu Data Indonesia menunjukkan, lembaga pemerintah cenderung masih berfokus pada pengumpulan data, dan belum sampai pada tahap proses pemanfaatan data tersebut.

"Ini akibat pemahaman ‘data-based policy’ yang kurang memadai," kata dia.

Baca Juga: Lewat Kampanye Unlock Your Courage, Coach Memperkenalkan Koleksi Musim Gugur 2024

Hafiz juga mendapati, tolok ukur standardisasi data masih belum jelas dan terdapat tantangan keamanan data (seperti serangan ransomware).

Studi kasus e-KTP dan transisinya ke KTP digital juga dibahas oleh Hafiz, yang mana masih sering ditemukan masalah duplikasi data, layanan daring masih mengikuti jam kerja luring, dan kompleksnya pengurusan penggantian data.

Menurut Hafiz, jika dalam pengembangan infrastruktur digital terdapat kesalahan, maka diperlukan pengakuan atas kesalahan tersebut.

"Selanjutnya, bagaimana pemerintah bisa meng-convince bahwa they are on the right track menjadi penting. Dan ‘they are on the right track’ memerlukan aspek publik dalam perjalanannya," tandasnya.

Tags :
BERITA TERKAIT
BERITA TERKINI