Menjadi seorang generasi sandwich di era 2024 adalah hal umum yang bisa kita lihat di sekitar kita. Generasi sandwich merupakan generasi usia produktif, yang memiliki kewajiban dan tanggungan membiayai hidup tiga generasi, yakni orang tua, dirinya sendiri, dan anaknya.
Melihat fenomena itu, Pakar Ekonomi Universitas Airlangga (UNAIR), Noven Suprayogi SE MSi Ak, turut memberikan pendapat.
Menurut Noven, akar dari fenomena generasi sandwich adalah kurangnya manajemen finansial yang baik selama masa produktif.
"Artinya, sebagian besar mereka tidak mempersiapkan dengan matang perencanaan ekonomi pada masa mendatang," kata dia, seperti dikutip Selasa (14/5/2024).
Noven menilai, fenomena generasi sandwich itu merupakan permasalahan yang kompleks. Bukan hanya dari sisi ekonomi, namun juga sisi sosial budaya.
"Ditambah, di Indonesia menjunjung erat kekeluargaan dan adat ketimuran yang mana seorang anak memiliki kewajiban membiayai orang tua," tuturnya.
Selain itu, penyebab banyaknya generasi sandwich karena masyarakat Indonesia terjebak dalam middle income trap. Middle income trap adalah suatu kondisi ekonomi yang menyebabkan suatu masyarakat tidak dapat meningkatkan tingkatan ekonomi atas.
"Singkatnya, masyarakat middle income trap yang berpenghasilan menengah. Mereka tidak tergolong kategori kaya dan juga tidak tergolong kategori miskin. Biasanya yang menjadi persoalan, apabila masyarakat middle income trap mengalami kesulitan akan berisiko untuk jatuh roda perekonomiannya," lanjut Noven.
Baca Juga: Instagram Memperluas Pasar Kreatornya ke 10 Negara Baru, Ada Indonesia
Selanjutnya Noven menekankan, fenomena generasi sandwich ini menjadi tugas bersama, untuk mengupayakan masyarakat middle income trap untuk naik pada tingkatan high income. Dengan demikian, setidaknya dapat mengurangi permasalahan ekonomi pada masyarakat.
Ia juga mengimbau para anak muda yang dalam usia produktif serta telah memiliki penghasilan untuk melek akan manajemen finansial. Manajemen finansial yang tepat dapat memutus tali generasi sandwich untuk generasi-generasi selanjutnya.
"Ibaratnya, hidup manusia itu seperti parabola. Pada saat usia produktif mungkin kita masih kuat dalam mendapat penghasilan secara optimal. Namun, seiring berjalannya waktu tidak akan sekuat saat usia produktif. Alhasil, penghasilan yang didapat tidak sestabil saat produktif serta ditambah biaya hidup semakin tinggi," tambahnya.
Baca Juga: Profit Carsome Awal Tahun Ini Dikatrol Penggunaan AI dan Big Data
Baca Juga: Siri Versi Baru Bakal Diperkenalkan di WWDC 2024
Ia menyebutkan, dua faktor penting dalam manajemen finansial. Yakni, perencanaan dan pengalokasian keuangan yang matang.
Dalam hal ini, anak muda harus mulai mempersiapkan dana-dana untuk jangka panjang. Seperti halnya, dana pendidikan, dana kesehatan dan dana pensiun.
"Kedua faktor tersebut harus diperhatikan betul, terutama anak muda yang masih dalam usia produktif. Upaya-upaya tersebut bertujuan untuk menghindari kecenderungan bergantung dengan orang lain di masa usia senja," jelas dia.
Selain itu, Noven menyarankan untuk anak muda mencoba berinvestasi. Pada era sekarang, telah tersedia banyak instrumen-instrumen penyedia jasa investasi untuk para anak muda. Berinvestasi dinilai lebih efektif untuk anak muda dalam pengelolaan keuangan.
"Sebenarnya, sama halnya dengan menabung. Namun, terkadang anak muda menerapkan menabung itu dengan cara menyisakan. Seharusnya, jangan menyisakan harus adanya sekian persen yang memang dialokasikan untuk tabungan," sebut dia.
Baca Juga: Bose Memperkenalkan Speaker Portabel Sound Link Max, Begini Spesifikasinya
Ia menambahkan, dalam berinvestasi harus melihat karakteristik dan kemampuan diri sendiri. Pilihlah produk investasi yang terpercaya dan akurat, serta terverifikasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengelola keuangan.
"Perhatikan betul dalam konsep segala risiko dalam berinvestasi," tegas Noven.
Dalam menentukan produk investasi, kita tetap harus mengetahui untuk jangka panjang atau pendek serta karakteristik diri. Karakteristik diri meliputi berani tidaknya kita untuk mengambil risiko yang tinggi.
"Karakteristik ini yang tahu hanya dalam diri sendiri, tinggal kita menyesuaikan produk investasi yang cocok dengan karakteristik diri sendiri," ungkapnya.